Connect with us

Opini

Falsafah Kasundaan Dan Relevansinya Terhadap Pancasila

Published

on

Falsafah Kasundaan Dan Relevansinya Terhadap Pancasila

Falsafah Kasundaan : Mengembalikan Jati Diri Bangsa  bukan hanya sebuah slogan dan sekaligus himbauan, namun secara nyata,  saat ini sudah sangat mendesak dan penting untuk dilakukan agar seluruh elemen yang ada di dalam bangsa Indonesia ini untuk  ikut serta berperan secara bersama-sama membangun dan menjaga serta mengembalikan  jati diri bangsa Indonesia.

Saat ini, jati diri  bangsa  mulai pudar dan  tergerus oleh   arus era globalisasi yang sudah tidak dapat kita hindari, dimana segala sesuatu semakin bebas, dan karenanya  banyak hal yang dapat merusak moral bangsa Indonesia.

Guna membentengi bangsa ini, maka sudah saatnya kita  harus segera memulai untuk mengembalikan jati diri bangsa.

Kita harus sadar  bahwa permasalahan Bangsa saat ini sangat memprihatinkan. Praktek korupsi telah mengakar kuat, mulai dari pejabat tinggi hingga pejabat paling rendah di Desa/Kelurahan. Kasus Narkoba,pornografi dan pornoaksi, pembunuhan, perampokan, penculikan ditambah lagi banyak generasi muda yang moralnya terkontaminasi oleh hal-hal negatif  yang sudah sangat jauh keluar dari jati diri bangsa ini yang telah hidup terwarisi sejak berabad-abad silam. Untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dan generasi penerus kita, tidak ada kata lain selain marilah  kembali kepada keberadaan nilai-nilai Pancasila  dan ketegakan UUD’ 45  sudah sangat  dirasakan kebutuhannya

Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila merupakan representasi positif dari akar budaya masyarakat Indonesia yang terakumulasi sejak ratusan tahun yang lalu. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi moral (Ketuhanan Yang Maha Esa), kemanusiaan, kerakyatan, persatuan dan kesatuan bangsa, serta prinsip keadilan merupakan koridor yang dapat membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar. Diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional dari negara Indonesia memiliki konsekuensi logis untuk menerima dan menjadi kan nilai-nilai Pancasila sebagai acuan pokok bagi pengaturan penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.

Keberadaan Pancasila telah terbukti mampu mempersatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari perpecahan. Dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila menjadi nilai rujukan kebersamaan atas beragam budaya dan etnis  yang ada dinusantara ini. Dari kenyataan inilah maka fungsi dan peranan Pancasila adalah sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia  untuk dijadikan pedoman moral dalam pembangunan nasional yang harus dijaga ketegakannya.

Jati diri bangsa ini penting tetap kita hidupkan,junjung tinggi dan pelihara. Falsapah yang terkandung dalam Pancasila dan roh UU’d 45 ternyata juga sangat relevan dengan  falsafah hidup yang telah ada di bangsa ini, yang terlahir dan hidup berakar dari   warisan budaya lokal para leluhur  nusantara.

Salah satunya adalah falsafah Kasundaan dan makna bambu bagi budaya suku  sunda di Jawa Barat,  tidak ada salahnya  jika kita mencoba menjadikan adat budaya warisan leluhur sunda “yang tidak bertentangan dengan agama dan alam”  sebagai salah satu maha guru yang terbaik untuk belajar memaknai jati diri bangsa Indonesia yang berlandaskan ideology Pancasila dan UUD’ 45. Budaya Kasundaan dan Bambu banyak menyiratkan makna filosofis;

  • KASUNDAAN . Selain agama yang dijadikan pandangan hidup, orang Sunda juga mempunyai pandangan hidup yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Pandangan hidup tersebut tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya karena secara tersurat dan tersirat dikandung juga dalam ajaran agamanya, khususnya ajaran agama Islam. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak zaman kerajaan Kerajaan Salakanagara, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda-Galuh, Kerajaan Pajajaran hingga sekarang.

Hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus dilandasi oleh sikap “silih asih, silih asah, dan silih asuh”, artinya harus saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan, seperti tampak pada ungkapan-ungkapan berikut ini:

Kawas gula jeung peueut yang artinya hidup harus rukun saling menyayangi, tidak pernah berselisih.

Ulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya.

Ulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan atau keresahan.

Ulah nyolok mata buncelik yang artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain dengan maksud mempermalukan.

Buruk-buruk papan jati yang artinya berapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya

Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya, tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga keadaan, dan menjaga solidaritas sosial dalam masyarakat. Masalah ini dalam masyarakat Sunda terpancar dalam ungkapan-ungkapan:

Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balarea (harus menjunjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermufakat kepada kehendak rakyat.

Bengkung ngariung bongkok ngaronyok (bersama-sama dalam suka dan duka).

Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju (memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun)

  • Pada mitologi masyarakat Sunda, awi berarti ilmu asal mula kehidupan orang Sunda. Huruf A berarti ilmu, W berarti wiwitan (asal mula), dan I berarti ingsun medal (kehidupan). Jadi, jika didefinisikan seluruhnya menjadi ilmu asal mula kehidupan orang Sunda.

Pada awalnya dalam bahasa Sunda nama bambu disebut lengka, kirisik, bitung, atau buluh. Seiring dengan perubahan zaman, lengka dan buluh disebut  ‘Awi’ (bambu), Awi sebagai tumbuhan memiliki nilai fisik yang sangat berguna bagi kehidupan manusia, di samping itu, bambu bagi masyarakat Sunda memiliki nilai filosofis yang dalam, memiliki nilai magis, dan memiliki daya pikat dan ikat sehingga banyak dijadikan perlambang atau simbol-simbol kehidupan. Hal itu dapat dibuktikan dalam kehidupan masyarakat Sunda di daerah-daerah pedesaan yang belum terkontaminasi oleh arus era kesejagatan.

Sejalan dengan dengan nilai-nilai filosofis bambu bagi masyarakat sunda, di gambarkan pula oleh salah satu tokoh bambu dunia “Wolfgang Ebertz”,

No matter what country we are from,

No matter what religion we belong to,

No matter what colour skin has,

No matter what political system we belong to,

Bamboo is our friends and, therefore we are all friend .

Gambaran diatas adalah bagaimana kehebatan awi atau bambu (bahasa : Indonesia) yang mampu mempersatukan seluruh manusia tanpa melihat latar belakang, dari mana asal, agama yang dianutnya, warna kulit, politik yang dipahaminya, sehingga bambu menjadi alat pemersatu yang cukup tangguh.

Bambu ketika mulai akan tumbuh hanya terlihat pucuk daunnya dan beberapa bonggol kecil yang kemudian dengan perlahan meninggi, bambu belum menampakkan pertumbuhannya yang penting, padahal  pada saat itulah, akar-akar bambu tumbuh subur dan dengan akar-akar itu  pula pada dasarnya bambu sedang membangun  fondasi,  kemudian setelah pertumbuhan akarnya selesai, barulah batang bambu akan muncul. Tumbuh, menjulang ke atas langit. “  makna dari cara tumbuh bambu, jika kita simak memiliki arti filosofis”

Pertama, bahwa  untuk memperoleh kesuksesan, tidak ada jalan lain selain ketekunan dan kegigihan dalam berusaha. Artinya kita  harus terus  berproses untuk berjuang, proses perjuangan  itu sarat dengan kerja keras, keringat, dan penderitaan. Filosofi bambu ini mengajarkan kita untuk setia menanam dan merawat, dan hasilnya tidak harus akan langsung kelihatan Tetapi, selama kita terus maju dengan gigih dan berusaha, pada saatnya kita akan memetik hasilnya. Persis seperti suatu kata bijak, orang yang pergi ke ladang dengan cucuran air mata akan pulang bersama hasil panennya dengan sorak-sorai. Intinya, tidak ada kesuksesan sejati tanpa perjuangan.

Kedua, soal karakter dan cara hidupnya, “Bambu juga mengajari kita soal fleksibilitas”.  Jarang, kita menyaksikan bambu roboh di tengah tumbangnya pohon-pohon lain akibat serangan angin kencang, bambu tetap kokoh tak bergeming. Selain karena akarnya yang kuat, juga batangnya yang bergoyang bersama angin. Akibatnya, dalam cuaca dan angin kencang, pohon bambu bergoyang dan mengeluarkan desis suara, mengikuti irama angin. Tapi, tidak pernah tumbang. Sementara itu, pohon-pohon lain dengan batang lebih besar, justru tidak kuat menghadapi ganasnya angin.

Kasundaan dan Bambu  adalah salah satu warisan budaya nusantara yang memiliki nilai   kearifan, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang hakiki dan sangat relevan dengan Falsafah ideologi Pancasila dan UUD’ 45 sebagai identitas nasional jati diri bangsa yang harus kita hidupkan dan jaga ketegakannya.

Dengan kita kembali kepada jati bangsa Indonesia yang berlandaskan  ideologi Pancasila dan UUD’ 45, maka  identitas nasional dapat kita jaga dan pertahankan, yang mana muaranya akan menjadikan   identitas nasional bangsa ini dapat menjadi  suatu ukuran atau patokan yang dapat digunakan untuk menyatakan sesuatu ( Pancasila dan UUD’ 45 ) adalah menjadi ciri khas  bangsa indonesia. Konsep Bhineka Tunggal Eka pada Pancasila mengajarkan kita untuk hidup berdampingan secara rukun dan damai, ”Dalam UUD 1945, menyatakan bahwa bangsa Indonesia berjuang dan mengembangkan dirinya sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, bersatu, maju, makmur, serta adil atau berkesejahteraan. Untuk mencapai kualitas hidup demikian, nilai kemanusiaan, demokrasi dan keadilan harus kita dijadikan landasan ideologis yang secara ideal dan normatif diwujudkan secara konsisten, konsekuen, dinamis, kreatif, dan bukan indoktriner apalagi sampai tidak hidup dan bahkan semakin dilupakan hingga semakin jauh dari pola serta karakter hidup sehari-hari didalam bangsa ini.

Kemudian salah hal yang menjadikan kita harus  selalu menumbuhkan rasa nasionalisme dan kembali kepada jati diri bangsa Indonesia  yang hakiki agar tidak semakin  tercerabut dari  karakter jati diri bangsa ini,  adalah  dengan tetap selalu mengingat sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia untuk menghasilkan proklamasi kemerdekaan. Terbentuknya negara Indonesia adalah kehendak bersama seluruh bangsa Indonesia, sebagai suatu keinginan luhur bersama. Di samping itu adalah kehendak dan atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa,  berdasarkan kenyataan yang ada, terjadinya negara Indonesia bukan melalui pendudukan, pemisahan, penggabungan, pemecahan, atau penyerahan. Bukti menunjukkan bahwa negara Indonesia terbentuk melalui proses perjuangan (revolusi) dengan pengorbanan darah dan penderitaan para pejuang kita. Untuk kita ketahui bahwa salah satu factor pendorong para pejuang kemerdekaan bangsa ini tumbuh rasa  nasionalisme pembentukan Indonesia adalah adanya persamaan nasib, yaitu penderitaan bersama di bawah penjajahan bangsa asing lebih kurang selama 350 tahun.,adanya keinginan bersama untuk merdeka, melepaskan diri dari belenggu penjajahan, kesatuan tempat tinggal, yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan suatu bangsa.

Garuda Citizen adalah portal berita yang memuat berbagai artikel menarik dan penting. Seperti politik, hukum, HAM, wisata, opini hingga hiburan

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply