Connect with us

Nasional

Front Pembela Islam (FPI) Sebaiknya Dibubarkan

Published

on

Said Aqil Siradj - sihabuddin - Front Pembela Islam dibubarkan

Front Pembela Islam (FPI) baru-baru ini, kembali bikin ‘gaduh’. Dimana menuding Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, darurat aqidah.

Hal ini sebenarnya buntut dari kasus yang dipicu dari pelesetan salam etnis Sunda ‘Sampurasun’ menjadi ‘Campur Racun’ yang di ungkapkan oleh Habib Rizieq, tokoh utama ormas tersebut.

Menyikapi hal ini, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj, menghimbau agar masyarakat Purwakarta tetap tenang dan tidak perlu memikirkan tudingan Front Pembela Islam (FPI) yang menyatakan daerah tersebut darurat aqidah.

“Bagusnya tidak diharaukan,” kata Said usai memberikan ceramah Maulid Nabi di Pendopo Purwakarta, Senin, 14 Desember 2015 sebagaimana dilansir portal berita online viva.co.id.

Namun, Said juga menegaskan, apabila aksi yang mereka lakukan sudah di ambang batas dan merugikan masyarakat luas sebaiknya diambil tindakan tegas.

“Kalau memang meresahkan dan memprovokasi, lebih baik ormas seperti itu Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan saja,” ujar Said.

Said juga mengimbau agar cara berdakwah selalu mengedepankan ketenangan dan kedamaian seperti yang dilakukan oleh Rasulullah. Menurutnya, selama 13 tahun berdakwah, Rasulullah tidak langsung menghancurkan berhala terlebih dahulu.

Rasulullah, kata Said, berusaha menghormati budaya. Misalnya di Madinah, ia tetap menghormati peradaban dan membangun asimilasi budaya karena di sana banyak suku bangsa, baik yang muslim maupun non muslim.

“Rasulullah selalu memperlakukan masyarakatnya sama, tidak menghendaki permusuhan, kecuali yang melanggar hukum,” ujarnya.

Di Indonesia pun seharusnya demikian, penyebaran Islam jangan sampai meninggalkan pendekatan budaya dan tidak menimbulkan perang apalagi pertumpahan darah. Mengingat Indonesia memiliki keberagaman suku dan budaya.

“Islam adalah agama terbuka dengan budaya. Islam datang sejak berdirinya Majapahit, dan berkembang menggunakan pendekatan budaya tanpa adanya paksaan,” kata dia.

Wacana Pembubaran Front Pembela Islam (FPI)

FPI - Front Pembela Islam

FPI (Front Pembela Islam) dalam salah satu aksinya

Desakan pembubaran Front Pembela Islam sebenarnya telah berlangsung cukup lama. Bahkan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga pernah mewacanakan hal tersebut.

Menurut Ahmad Mubarak, aktifis penulis di Kompasiana, kita sudah pasti tahu FPI dalam berbagai aksi selalu bersikap anarkis demi memuluskan tujuannya. Dalam setiap aksinya, FPI juga membawa sentimen rasial dan agama.

FPI adalah salah satu ormas fundamentalis. Fundamentalis adalah suatu paham yang menginginkan pemurniaan agama secara utuh.Paham seperti ini menginginkan suatu negara tunduk dan taat pada ideologi mereka, seperti ISIS di Irak.

Sementara, sikap FPI yang ‘terkenal’ anarkis dan main hukum sendiri sangat merusak citra Islam itu sendiri.

Tindakan segelintir kelompok, berakibat pada semua orang-orang islam. Bahkan, sekarang ini islam dipandang sebagai agama yang keras, anarkis dan tidak mengedepankan rasionalitas.

Stereotip-stereotip ini jelas merugikan para pemeluk agama Islam. Beberapa aksi FPI yang sudah banyak menimbulkan kerugian, bisa merusak disintegrasi bangsa kita, bila pemerintah tidak secepatnya membubarkannya.

Sentimen agama dan rasial yang dibawa FPI bukan tidak mungkin membuat rakyat Indonesia terprovokasi yang akhirnya menimbulkan konflik horizontal.

Negara kita yang bersistem Demokrasi Pancasila memang tidak cocok untuk para fundamentalis yang menginginkan kesamaan agama, ideologi dan sistem. Negara Indonesia adalah negara pluralitas dan majemuk. Meskipun hampir rata-rata rakyat Indonesia beragama islam, namun bukan berarti bahwa sistem Indonesia adalah sistem Islam seperti di Brunei Darrusalam.

Seharusnya FPI bisa mengerti akan hal ini. Anarkisme bukanlah simbol demokrasi. Tapi, saya rasa FPI belum bisa mengerti apa itu demokrasi serta keaneragaman budaya, sosial ataupun agama, karena hanya orang-orang yang bisa berpikir secara jernih dan rasional yang bisa mengerti akan hal itu. Bukan orang-orang yang bertindak secara emosional seperti suku bar-bar !

Toleransi Beragama Berada di Titik Nadir

Konflik SARA saat ini cenderung meruncing. Toleransi beragama berada di titik nadir. Hal ini dipicu beberapa pelaku politik yang memanfaatkan label agama untuk kepentingannya.

Tidak hanya itu, sebagian dari tokoh-tokoh agama yang sejati menjadi panutan dalam menjaga kerukunan umat, malah cenderung memantik pemicu yang dapat menimbulkan perpecahan.

Sinyalemen tersebut juga diingatkan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Ia mengatakan Indonesia saat ini telah dirusak para politikus yang dikendalikan negara asing. Para politikus tersebut telah menodai semangat nasionalisme di Indonesia.

Gatot mengatakan, masyarakat Indonesia tidak lagi memiliki budaya sopan santun seperti yang telah diwariskan turun temurun. Budaya saling menghargai dan menghormati diganti dengan budaya baru yang sangat berbeda.

“Masyarakat Indonesia saat ini memiliki budaya yang berbeda, mereka lebih suka marah-marah, parahnya itu semua dipelopori oleh politikus yang dikendalikan dari luar oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab ,” ujar Gatot dalam seminar nasional bela negara di Hotel Sheraton Makassar, Sabtu (12/12/2015).

Garuda Citizen truly of Indonesia » politik, hukum, sosial, wisata, budaya, dan berbagai berita peristiwa menarik dan penting untuk dibaca.