Investigasi
‘Jerit Tangis’ Dibalik Pabrik Semen Terbesar Dunia – Indocement (Bag.3)

Persoalan dugaan tanah warga yang dikuasai PT. Indocement Tunggal Prakarsa, memang multi konflik. Rumit, njilmet, kusut, dan entah apalagi sebutannya.
Yang jelas, hingga puluhan tahun tidak pernah terselesaikan sampai tuntas. Bahkan, beberapa warga yang merasa berhak telah meninggal dunia dimakan usia. Beribu kekecewaan, harus dibawa kealam baka.
Baca berita sebelumnya:
- “40 Tahun Lebih Tanah Kami Diserobot Dan Dikuasai PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk”
- “Mereka jahat! Kemiskinan dan kebodohan kami dimanfaatkan. Kami masih dijajah, walau pun Indonesia telah merdeka”
Bagaimana bisa seperti itu? Berikut penelusuran Garuda Citizen saat berbincang dengan H. Ndin dan Endang di Desa Lulut yang kami sebut sebagai sumber.

H. Ndin salah satu tokoh masyarakat yang ikut dalam tim perjuangan menuntut Indocement
Mari kita lihat salah satu konflik persengketaan diwilayah Blok Pasir Kores di Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal.
Menurut Sumber, masyarakat seperti sengaja dibuat pusing. Sementara pihak Indocement terus berjalan mengeruk kekayaan alam di desanya.
Dikatakannya, masyarakat memang dikalahkan dalam persidangan. Namun pihaknya tahu, ada yang salah dalam hal ini. Benar, mereka tidak begitu mengerti peraturan hukum. Namun, sangat tahu pasti, bahwa areal tanah yang dikuasai Indocement tersebut adalah hak mereka.
Pernah pada tahun 2003, dibuat sebuah tim untuk memperjuangkan hak warga yang tanahnya dikuasai oleh pihak Indocement. Tim tersebut kemudian mempertanyakan status tanah warga. Namun oleh pihak Indocement, disuruh bertanya langsung ke Pemerintah daerah Kabupaten Bogor.
“Saat itu, kami terus mendesak kejelasan nasib warga. Bahkan melakukan demo besar-besaran ke Pemda. Membawa massa hingga ratusan orang,” ungkap Sumber mengenang pahitnya perjuangan menuntut keadilan.
Hasil dari demo tersebut, tanggal 28 Maret 2003 Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor membentuk tim dari berbagai dinas instansi terkait. Guna, penanganan masalah tanah Blok Pasir Kores antara PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, dengan warga masyarkat.
Hasil kerja tim bentukan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, disimpulkan dari ratusan hektar tanah yang diklaim warga, dinyatakan yang wajib dibayar oleh pihak Indocement cuma 37,8 hektar.
Akan tetapi, ternyata itu pun tidak ada realisasi sama sekali. Dan pemda tidak memerintahkan pihak Indocement untuk membayar, melainkan menyediakan lawyers untuk menuntut Indocement. Dimana dalam hal ini, agar tanah warga seluas 37,8 hektar dibayar.
“Awalnya, kami sudah cukup gembira. Merasa ada keberpihakan pemerintah terhadap nasib warga,” ungkap Sumber.
Dan ironisnya, setelah proses persidangan panjang dan melelahkan, warga tetap harus menerima kenyataan pahit. Lawyers yang disediakan oleh Pemda seolah tidak berkutik menghadapi perusahaan raksasa tersebut.

Heni (60) warga desa Lulut Kecamatan Klapa Nunggal – Bogor. Hanya bisa menangis menyaksikan tanahnya dikuasai PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk
Dikatakan Sumber, saat itu warga hanya bisa meratap. Ketika membaca berbagai putusan sidang, yang seolah panggung sandiwara itu. Katanya, walau pada halaman pertama dengan huruf yang ditebalkan tertulis ‘DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, pihaknya merasa keadilan itu begitu mahal dan tak terjangkau.
Masyarakat akhirnya, putus asa. Lelah, sedih dan kehabisan biaya untuk berjuang. Terakhir setelah mendapat putusan dari Mahkamah Agung pada tahun 2006 dimana menolak permohonan kasasi dari lawyers bentukan Pemerintah Daerah itu.
“Warga hanya menangis di rumah masing-masing. Dan berharap, keperihan itu dapat hilang seiring dengan waktu,” ujar Sumber.
Sidang Yang Janggal di Kasus Indocement:
Dari proses pejalanan sidang untuk memperjuangkan hak warga atas tanah yang dikuasai PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Ada banyak kejanggalan yang ditemui. Bahkan, ada indikasi hal itu dilakukan hanya untuk mengulur waktu dan membuat warga putus asa.
Bagaimana tidak, sejak hasil cross check bentukan Pemda Bogor tahun 2003. Kendati membuktikan setidaknya 37,8 hektar tanah warga mesti dibayar oleh Indocement, namun tidak ada aksi nyata. Cuma menyediakan lawyers dimana kemudian setelah menghabiskan waktu hingga tahun 2006 hanya untuk dikalahkan dipersidangan.
Seharusnya, Pemda bisa bersikap tegas. Seperti memerintahkan pihak Indocement untuk segera menyelesaikan dengan warga.
Persoalan berikutnya yang juga harus menjadi kajian adalah, kebijakan pihak BPN yang telah mengeluarkan sertifikat dengan ‘tergopoh-gopoh’. Tanpa terlebih dahulu melakukan kross check dilapangan. Akhirnya, menimbulkan konflik berkepanjangan.
Tidak hanya itu, menurut Ndang, salinan putusan siding sendiri terlihat janggal. Contoh, Surat Putusan Sela dan Putusan Nomor: 34/Pdt.G/2004/PN.Cbn, yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Cibinong. Salinan yang ia terima, kendati ditandatangani lengkap oleh para Hakim namun tidak ada stempel Pengadilan bersangkutan.
Keanehan kembali terjadi pada putusan sidang di Pengadilan Negeri Bandung dalam mengadili perkara Perdata tingkat banding. Salinan Putusan No. 11/Pdt/2005/PT.BDG, yang diterima, bahkan tidak ada tandatangan sama sekali. Baik Hakim Ketua Majelis, Hakim Anggota, maupun Panitera. Dan parahnya, putusan ini dibuat dalam sebuah sidang tanpa dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara.
Disini, terkesan Lawyers bentukan Pemda Bogor memang tidak serius untuk memperjuangkan hak warga. Dan yang kedua, sangat parah, dimana letak kekuatan hukum Putusan yang tidak ditandatangani itu.
Belum sampai hanya disitu, pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung pun terkesan aneh! Dari salinan Putusan No.1140 K/Pdt/2006 yang diterima, juga dibuat dari hasil sidang tanpa dihadiri oleh para pihak. Baik tergugat maupun penggugat. Dan lagi-lagi tidak ditandatangani oleh para Hakim.
“Kami rakyat kecil seperti tinggal di negeri tidak bertuan. Kami seolah tenggelam dalam lumpur dan tak ada sesuatu yang dapat menjadi pegangan. Terendam tanpa bisa bersuara,” ujar H. Ndin dengan nada lirih.
Dikatakan H. Ndin, dalam kasus tersebut, rakyat merasa tidak punya Negara. Tidak punya Hakim, tidak punya Bupati, Gubernur, dan Presiden.
Pada bagian akhir obrolannya, H. Ndin berkata, warga sudah tidak berani berharap banyak dengan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Cuma, setiap kali Indonesia ganti Presiden, kami berharap salah satunya mau mendengar jeritan kami. Termasuk Pak Jokowi yang sekarang.
“Umur saya saat ini 75 tahun. Saya tidak tahu, apakah disisa umur ini bisa merasakan keadilan itu atau tidak,” ujar H. Ndin.

You must be logged in to post a comment Login