Tokoh
6 Kisah Sukses Orang Indonesia Jenius di Luar Negeri

Bukan tidak ada orang-orang jenius di Indonesia. Cukup banyak sebenarnya. Namun, Indonesia tidak begitu mampu mengakomodirnya. Para generasi berbakat itu biasanya harus meniti karier di negeri orang. Banyak kisah sukses orang Indonesia diluar negeri belakangan ini sebagai buktinya.
Cukup membanggakan sebenarnya, walau disisi lain ada rasa cukup miris. Sumber daya orang-orang jenius Indonesia itu, didaya guna bangsa luar.
Berikut ulasan kisah sukses orang Indonesia jenius di luar negeri.
Prof Nelson Tansu, PhD – Pakar Teknologi Nano
Prof Nelson Tansu, PhD kelahiran 20 Oktober 1977 ini adalah seorang jenius. Ia adalah pakar teknologi nano. Fokusnya adalah bidang eksperimen mengenai semikonduktor berstruktur nano.
Teknologi nano adalah kunci bagi perkembangan sains dan rekayasa masa depan. Inovasi-inovasi teknologi Amerika, yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari seluruh orang di dunia, bertopang pada anak anak muda brilian semacam Nelson. Nelson, misalnya, mampu memberdayakan sinar laser dengan listrik superhemat. Sementara sinar laser biasanya perlu listrik 100 watt, di tangannya cuma perlu 1,5 watt.
Penemuan-penemuannya bisa membuat lebih murah banyak hal. Tak mengherankan bila pada Mei lalu, di usia yang belum 32 tahun, Nelson diangkat sebagai profesor di Universitas Lehigh. Itu setelah ia memecahkan rekor menjadi asisten profesor termuda sepanjang sejarah pantai timur di Amerika. Ia menjadi asisten profesor pada usia 25 tahun, sementara sebelumnya, Linus Pauling, penerima Nobel Kimia pada 1954, menjadi asisten profesor pada usia 26 tahun. Mudah bagi anak muda semacam Nelson ini menjadi warga negara Amerika.
Amerika pasti menyambutnya dengan tangan terbuka. Nelson mengaku hatinya tetap Indonesia. Nelson bercerita, sampai kini ia getol merekrut mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan riset S-2 dan S-3 di Lehigh. Ia masih memiliki ambisi untuk balik ke Indonesia dan menjadikan universitas di Indonesia sebagai universitas papan atas di Asia.
Nelson adalah sosok inspirasi tentang kisah sukses orang Indonesia jenius di luar Negeri
Muhammad Arief Budiman: Merah-Putih Di Saint Louis
Di sebuah ruang kerja di kompleks Orion Genomic, salah satu perusahaan riset bioteknologi terkemuka di negeri itu, seorang lelaki Jawa berwajah “dagadu”—sebab senyum tak pernah lepas dari bibirnya—kerap terlihat sedang salat. Dia bernama Muhammad Arief Budiman.
Pada mulanya bercita-cita menjadi pilot, lalu ingin jadi dokter karena harus berkacamata sewaktu SMP, anak pekerja pabrik tekstil GKBI itu sekarang menjadi motor riset utama di Orion. Jabatannya: Kepala Library Technologies Group. Menurut BusinessWeek, ia merupakan satu dari enam eksekutif kunci perusahaan genetika itu.
Genetika adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari gen, pembawa sifat pada makhluk hidup. Peran ilmu ini bakal makin sentral di masa depan: dalam peperangan melawan penyakit, rehabilitasi lingkungan, hingga menjawab kebutuhan pangan dunia.
Arief tak hanya terpandang di perusahaannya. Namanya juga moncer di antara sejawatnya di negara yang menjadi pusat pengembangan ilmu tersebut: menjadi anggota American Society for Plant Biologists dan—ini lebih bergengsi baginya karena ia ahli genetika tanaman—American Association for Cancer Research.
Asosiasi peneliti kanker bukan perkumpulan ilmuwan biasa. Dokter bertitel PhD pun belum tentu bisa “membeli” kartu anggota asosiasi ini. Agar seseorang bisa menjadi anggota asosiasi ini, ia harus aktif meneliti penyakit kanker pada manusia. Ia juga harus membawa surat rekomendasi dari profesor yang lebih dulu aktif dalam riset itu serta tahu persis riset dan kontribusi orang itu di bidang kanker. Arief mendapatkan kartu itu karena, “Meskipun latar belakang saya adalah peneliti genome tanaman, saya banyak melakukan riset genetika mengenai kanker manusia,” ujarnya.
Lelaki berawajah dagadu ini adalah sosok inspirasi tentang kisah sukses orang Indonesia jenius di luar Negeri
Prof Dr. Khoirul Anwar: Terinspirasi Kisah Firaun
Bangkai burung, balsam gosok, dan kisah mumi Firaun. Siapa mengira tiga benda sepele itu ada gunanya. Tapi itulah trio yang “menghidupkan” pria kampung seperti Khoirul Anwar. Dia kini menjadi ilmuwan top di Jepang. Wong ndeso asal Dusun Jabon, Desa Juwet, Kecamatan Kunjang, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, itu memegang dua paten penting di bidang telekomunikasi. Dunia mengaguminya. Para ilmuwan dunia berkhidmat ketika pada paten pertamanya Khoirul, bersama koleganya, merombak pakem soal efisiensi alat komunikasi seperti telepon seluler.
Graduated from Electrical Engineering Department, Institut Teknologi Bandung (with cum laude honor) in 2000. Master and Doctoral degree is from Nara Institute of Science and Technology (NAIST) in 2005 and 2008, respectively. Dr. Anwar is a recipient of IEEE Best Student Paper award of IEEE Radio and Wireless Symposium (RWS) 2006, California, USA.
Prof Dr. Khoirul Anwar adalah pemilik paten sistem telekomunikasi 4G berbasis OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) adalah seorang Warga Negara Indonesia yang kini bekerja di Nara Institute of Science and Technology, Jepang.
“Teknologi balsam itu tidak pernah berhasil.”
Penelitian yang gagal total itu rupanya meletikkan gairah meneliti yang luar biasa pada Khoirul. Itulah yang mengantarkan alumnus Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung tersebut kini menjadi asisten profesor di JAIST, Jepang. Dia mengajar mata kuliah dasar engineering, melakukan penelitian, dan membimbing mahasiswa. Saat ini Khoirul sedang menekuni dua topik penelitian yang dilakukan sendiri dan enam topik penelitian yang digarap bersama enam mahasiswanya.
Khoirul Anwar adalah sosok inspirasi tentang kisah sukses orang Indonesia jenius di luar Negeri
Profesor Dr. Ken Kawan Soetanto – Peraih Empat Gelar Doktor dan Juga Peraih 31 Paten di Jepang
Prestasi membanggakan ditorehkan Profesor Dr. Ken Kawan Soetanto. Pria kelahiran Surabaya ini berhasil menggondol gelar profesor dan empat doktor dari sejumlah universitas di Jepang. Lebih hebatnya, puncak penghargaan akademis itu dicapainya pada usia 37 tahun.
Sepintas, penampilan fisiknya nyaris tak berbeda jika dibandingkan dengan kebanyakan orang Jepang. Kulitnya kuning. Rambut lurusnya, disisir rapi. Kemejanya yang diseterika licin dipadu jas menunjukkan dia menyukai formalitas. Tapi, begitu berbicara, akan terkesan bahwa Prof Soetanto -demikian dia dipanggil – bukan orang Jepang. Bicaranya ceplas-ceplos dengan logat suroboyoan-nya yang khas.
Penemu konsep pendidikan tinggi “Soetanto Effect” di Negeri Sakura itu beberapa hari ini berkunjung ke Indonesia. Soetanto mendampingi sejumlah koleganya, Dr Kotaro Hirasawa (dekan Graduate School Information Production & System Waseda University) dan Yukio Kato (general manager of Waseda University), menandatangani memorandum of understanding (MoU) antara Waseda University dan President University, Jababeka Education Park, Cikarang, Jawa Barat, Sabtu lalu.
Waseda University adalah perguruan tinggi swasta terbesar di Jepang. Reputasinya setara dengan universitas negeri semisal Tokyo University, Kyoto University, atau Nagoya University. Mahasiswa yang berguru di Waseda University 51.499 orang. Di antara jumlah itu, 1.234 orang berasal dari luar Jepang.
Waseda University telah menganugerahkan 81 gelar kehormatan bagi pemimpin negara, mulai mantan PM India Jawaharlal Nehru (1957) hingga mantan PM Singapura Lee Kuan Yew (2003). Dari Indonesia, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita juga pernah belajar di sini.
Prestasi akademik Soetanto bisa dibilang di atas rata-rata. Misalnya, pada 1988-1993, dia tercatat sebagai direktur Clinical Education and Science Research Institute (CERSI) merangkap associate professor di Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University, Philadelphia, AS.
Dia juga pernah tercatat sebagai profesor di Biomedical Engineering, Program University of Yokohama (TUY). Selain itu, pria kelahiran 1951 tersebut saat ini masih terdaftar sebagai prosefor di almameternya, School of International Liberal Studies (SILS) Waseda University, serta profesor tamu di Venice International University, Italia.
Otak arek Suroboyo itu memang brilian. Dia berhasil menggabungkan empat disiplin ilmu berbeda. Hal tersebut terungkap dari empat gelar doktor yang diperolehnya. Yakni, bidang applied electronic engineering di Tokyo Institute of Technology, medical science dari Tohoku University, dan pharmacy science di Science University of Tokyo. Yang terakhir adalah doktor bidang ilmu pendidikan di almamater sekaligus tempatnya mengajar, Waseda University.
“Saya sungguh menikmati pekerjaan sebagai akademisi,” kata Soetanto di sela kesibukannya menyaksikan MoU Waseda University dan President University.
Di luar status kehormatan akademik tersebut, dia masuk birokrasi di Negeri Sakura. Pria yang pernah berkawan dengan mantan Presiden RI B.J. Habibie itu tercatat sebagai komite pengawas (supervisor committee) di METI (Ministry of Economy, Trade, and Industry atau semacam Menko Perekonomian di RI).
Selain itu, dia ikut membidani konsep masa depan Jepang dengan terlibat di Japanese Government 21st Century Vision. “Pada jabatan tersebut, saya berpartisipasi langsung menyusun GBHN (kebijakan makro)-nya Jepang,” ungkap Soetanto yang masih fasih berbahasa Indonesia dan Jawa itu. Buah pemikiran Soetanto terkenal lewat konsep pendidikan “Soetanto Effect” dan 31 paten internasional yang tercatat resmi di pemerintah Jepang.
Inovasi yang dipatenkan itu mayoritas berlatar bidang keilmuannya, mulai elektronika engineering, teknologi informasi, penemuan pengobatan kanker, dan teknik imaging serta bidang farmasi.
Mau tahu berapa dana yang diraih Soetanto untuk membiayai riset-risetnya? Jumlahnya sangat mencengangkan untuk ukuran akademikus bergelar profesor atau mereka yang pernah menduduki jabatan tertinggi di perguruan tinggi (rektor). Kementerian Pendidikan Jepang mendanai Soetanto sampai USD 15 juta per tahun.
Soetanto adalah sosok inspirasi tentang kisah sukses orang Indonesia jenius di luar Negeri
Prof Dr. Ing BJ Habibie – Pemegang 46 Paten di bidang Aeronautika
Siapa yang tidak kenal dengan kisah orang Indonesia jenius yang sukses diluar negeri satu ini. Prof. Dr.-Ing. Dr. Sc. H.C. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie lahir tanggal 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan Indonesia.
Anak ke empat dari delapan bersaudara dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardoyo. Dia hanya satu tahun kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) karena pada tahun 1955 dia dikirim oleh ibunya belajar di Rheinisch Westfalische Technische Honuchscule, Aschen Jerman.
Setelah menyelesaikan kuliahnya dengan tekun selama lima tahun, B.J. Habibie memperoleh gelar Insinyur Diploma dengan predikat Cum Laude di Fakultas Teknik Mekanik Bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Udara. Pemuda Habibie adalah seorang muslim yang sangat alim yang selalu berpuasa Senin dan Kamis. Kejeniusannya membawanya memperoleh Gelar Doktor Insinyiur di Fakultas Teknik Mekanik Bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Udara dengan predikat Cum Laude tahun 1965.
B.J. Habibie memulai kariernya di Jerman sebagai Kepala Riset dan Pembangunan Analisa Struktur Hamburger Flugzeugbau Gmbh, Hamburg Jerman (1965-1969). Kepala Metode dan Teknologi Divisi Pesawat Terbang Komersial dan Militer MBB Gmbh, Hamburg dan Munchen (1969-1973). Wakil Presiden dan Direktur Teknologi MBB Gmbh Hambur dan Munchen (1973-1978), penasehat teknologi senior untuk Direktur MBB bidang luar negeri (1978). Pada tahun 1977 dia menyampaikan orasi jabatan guru besarnya tentang konstruksi pesawat terbang di ITB Bandung.
Johny Setiawan, Ph.D – Penemu Planet Pertama dan Bintang Muda
Johny Setiawan adalah sosok kisah sukses orang Indonesia jenius diluar negeri. Dia membuat mata dunia tercengang dengan penemuan planet pertama yang mengelilingi bintang baru TW Hydrae.
Penemuan itu sangat spektakuler karena dari 270 planet di luar tata surya yang telah ditemukan astronom dalam 12 tahun terakhir, tak satu pun planet yang muncul dari bintang muda.
Johny yang memimpin tim peneliti di Max Planck Institute for Astronomy (MPIA), Heidelberg, Jerman itu menemukan planet pertama yang disebut TW Hydrae b dan bintang baru TW Hydrae dengan menggunakan teleskop spektrograf F EROS sepanjang 2,2 meter di La Silla Observatory, Chile.
”Ketika kami mengamati kecepatan lingkaran gas TW Hydrae, kami mendeteksi sebuah variasi periodik yang tidak berasal dari aktivitas TW Hydrae. Kami mengamati kehadiran sebuah planet baru (TW Hydrae b),” ungkap Johny.
Planet baru yang ditemukan itu memiliki bobot sekitar sepuluh kali berat Planet Yupiter, planet terbesar dalam Sistem Tata Surya.
Planet baru itu mengorbiti TW Hydrae dalam waktu 3,56 hari dengan jarak sekitar 6 juta kilometer. Ini dapat disamakan dengan 4% jarak antara Matahari dan Bumi. Dengan penemuan tim yang dipimpin Johny tersebut, peneliti dapat membuat kesimpulan penting tentang waktu pembentukan planet.Sejumlah pertanyaan pelik yang selama ini dihadapi peneliti, seperti bagaimana dan di mana sistem planet terbentuk?
Demikian artikel tentang kisah sukses orang Indonesia jenius di luar Negeri. Semoga memberi inspirasi bagi kita semua.

You must be logged in to post a comment Login