Connect with us

Berita

Ada 76 Konflik Agraria di Bengkulu: Saatnya Pemerintah Bertindak!

Published

on

konflik agraria di Bengkulu

GarudaCitizen.com – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu menyerukan kepada kepala daerah baru, termasuk gubernur, bupati, dan wali kota, untuk segera menyelesaikan 76 konflik agraria di Bengkulu yang membelit komunitas adat di wilayah tersebut.

Konflik agraria di Bengkulu ini sudah terjadi dalam kurun yang panjang, dan berpotensi menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas jika tidak segera ditangani dengan pendekatan yang adil serta berbasis pada penghormatan hak-hak masyarakat adat.

AMAN Pertanyakan Peran Kepala Daerah

Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Bengkulu, Fahmi Arisandi, menegaskan pentingnya peran kepala daerah dalam perjuangan masyarakat adat. Seluruh komunitas adat yang tergabung dalam AMAN Bengkulu menghadapi konflik agraria, yang dalam beberapa kasus telah berlangsung selama puluhan tahun.

Sebagai contoh, di Desa Pring Baru, Kabupaten Seluma, menjadi salah satu daerah yang konflik agraria di Bengkulu telah terjadi lebih dari dua dekade kembali memanas. Baru-baru ini, insiden terjadi ketika petugas keamanan PT Perkebunan Nusantara VII dan oknum tentara diduga menganiaya anggota komunitas adat Serawai Semidang Sakti dengan tuduhan mencuri buah sawit.

“Padahal, lahan tersebut merupakan wilayah adat milik komunitas tersebut,” ungkap Fahmi.

Unjuk Rasa Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta beberapa waktu lalu

Perda Masyarakat Adat Enggano: Sebuah Urgensi

Selain konflik agraria di Bengkulu, komunitas adat Enggano juga menghadapi kendala dalam pengakuan hukum. Milson Kaitora, Paabuki atau koordinator kepala suku di komunitas adat Enggano, meminta pemerintah segera merealisasikan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penetapan dan Pengakuan Masyarakat Adat Enggano, yang sudah mandek lebih dari dua tahun.

Menurut Milson, Perda ini sangat penting sebagai landasan hukum untuk melindungi hak-hak masyarakat adat Enggano. Tanpa adanya pengakuan hukum yang jelas, praktik yang merugikan masyarakat adat, seperti perambahan hutan adat tanpa izin dan alih fungsi lahan secara sepihak, terus terjadi.

“Di wilayah adat kami, banyak hutan yang ditebangi dan diubah menjadi kebun tanpa izin dari lembaga adat. Kami ingin menindak, tetapi tidak bisa karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat,” jelas Milson.

Lebih jauh, ia menyoroti bagaimana jumlah masyarakat asli Enggano yang masih menggunakan bahasa asli dan memegang teguh hukum adat terus menurun. Hal ini diperburuk oleh kepemilikan lahan yang timpang antara penduduk asli dan pendatang.

“Kami, orang asli Enggano, paling banyak hanya memiliki dua hektare lahan, sementara pendatang bisa memiliki belasan hingga puluhan hektare. Ini menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan anak cucu kami yang hidup di pulau ini,” katanya.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

Urgensi Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat

Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat menjadi isu sentral dalam amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000.

Konstitusi Indonesia telah mengamanatkan bahwa negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, bertanggung jawab untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Sayangnya, implementasi di lapangan masih menemui banyak kendala.

Pentingnya pengakuan ini bukan hanya sebatas formalitas hukum, tetapi juga langkah strategis dalam membangun keberlanjutan lingkungan dan ekonomi. Dengan adanya pengakuan yang sah, masyarakat adat akan lebih percaya diri dalam merawat pengetahuan lokal mereka serta mengembangkan potensi ekonomi di wilayah adat mereka.

Inisiatif Pendidikan dan Ekonomi Masyarakat Adat

AMAN Bengkulu saat ini tengah memperkuat inisiatif komunitas masyarakat adat dengan membangun pendidikan adat melalui sekolah adat dan pendirian Kelompok Usaha Masyarakat Adat (KUMA).

Hingga saat ini, sudah ada lima sekolah adat yang berjalan, yaitu dua di Kabupaten Rejang Lebong, satu di Kabupaten Seluma, satu di Kabupaten Kaur, dan satu di Kabupaten Lebong. Selain itu, KUMA telah dikembangkan di Komunitas Teluk Dien, Kabupaten Lebong, yang fokus pada pengembangan jasa wisata arung jeram.

“Pengembangan ekonomi berbasis komunitas adat ini harus berjalan seiring dengan pelestarian lingkungan dan budaya. Dengan begitu, kita bisa menjamin keberlanjutan wilayah adat,” ujar Fahmi.

Peran Strategis Pemerintah dalam Mendukung Masyarakat Adat

Keterlibatan pemerintah dalam mendukung inisiatif-inisiatif masyarakat adat sangat penting. Fahmi menekankan bahwa pemerintah harus mengambil bagian dalam promosi dan pengembangan sekolah adat serta ekonomi berbasis komunitas adat agar dapat menjadi contoh bagi daerah lain.

“Bengkulu bisa menjadi model dalam praktik sekolah adat dan pengembangan potensi ekonomi wilayah adat. Tinggal bagaimana kemauan politik pemerintah untuk mendukungnya,” tegas Fahmi.

Keterlibatan pemerintah juga berdampak pada bagaimana kebijakan yang dibuat dapat diterima dan dihormati oleh masyarakat, sehingga semua potensi konflik agraria di Bengkulu bisa terus diminimalisir.

Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah dan masyarakat adat, akan tercipta kolaborasi yang efektif dalam menjaga semangat komunitas lokal serta memunculkan ide-ide inovatif untuk pembangunan yang lebih inklusif.

Dalam konteks ini, penerapan 11 Teknologi Kunci dalam Transformasi Digital Pemerintah Indonesia juga dapat mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Butuh Perhatian Serius Pemerintah

Konflik agraria di Bengkulu dan perlindungan hak-hak masyarakat adat merupakan isu yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah daerah. Penyelesaian konflik agraria, percepatan pengesahan Perda Masyarakat Adat Enggano, serta dukungan terhadap pendidikan dan ekonomi berbasis komunitas adat harus menjadi prioritas utama.

“Dengan pengakuan dan perlindungan yang jelas, masyarakat adat dapat berkontribusi lebih besar dalam pembangunan daerah sekaligus menjaga kearifan lokal dan kelestarian lingkungan,” tambah Fahmi.

Pemerintah daerah yang baru diharapkan dapat mengambil langkah nyata dalam menyelesaikan konflik ini dan menunjukkan komitmennya dalam melindungi hak-hak masyarakat adat.

Sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya, perhatian terhadap Upacara Adat Bengkulu: Tradisi Yang Masih Dilestarikan Hingga Kini juga menjadi penting, mengingat tradisi ini mencerminkan identitas dan nilai-nilai luhur yang dijaga oleh masyarakat adat.

Dengan sinergi yang baik antara pemerintah dan masyarakat adat, Bengkulu dapat menjadi contoh keberhasilan dalam penyelesaian konflik agraria dan pemberdayaan masyarakat adat secara berkelanjutan. (red)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply