Nasional
Menkopolkam–RI Pun tak berdaya menghadapi Indocement

Masalah sengketa tanah PT. Indocement dengan warga Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor – Jawa Barat, pokok persoalannya sebenarnya sudah terbuka cukup jelas dari dulu. Bahkan sejak dimulainya pembebasan tersebut. Namun kesannya, pemerintah Indonesia tidak benar-benar mau berpihak kepada rakyat kecil.
Jika pun ada semacam tindakan, tidak lebih sekedar untuk menghibur tanpa ada langkah kongkrit. Setidaknya, hal itu lah yang dirasakan Idi Supriadi sosok guru sekolah dasar hingga tutup usia. Berjuang untuk mendapatkan hak nya di negeri yang waktu itu seolah tidak bertuan.
Baca berita sebelumnya: Jerit Tangis dibalik pabrik semen terbesar dunia Indocement
Menjelang Idi Supriadi wafat, ia secara sadar bahwa masalah belum berakhir. Perjuangan untuk mendapatkan hak nya ia warisi kepada adiknya, Suhendar.
Saat ini pun, Suhendar telah memasuki usia lanjut. Tokoh desa yang terkenal cukup kritis itu, saat ini berumur 74 tahun. Semangatnya untuk berjuang masih terus berkobar. Namun sayang, harus tergerus konsisi fisiknya yang sakit-sakitan. Sesak nafas dan beragam komplikasi penyakit lain. Setidaknya, setiap minggu ia harus bolak-balik kerumah sakit untuk checkup.
“Saya mungkin akan sembuh jika sengketa ini berakhir,” canda Suhendar saat Wartawan GC (20/08/2016) menjenguknya diruang perawatan di RSUD Cileungsi – Bogor.
Dari dalam amplop coklat berisi hasil rontgen penyakitnya, Suhendar mengeluarkan beberapa lembar kertas lain, selain gambar dada bagian dalamnya berupa lembaran berbentuk film. Ternyata, beberapa document penting terkait sengketa tanah pihaknya dengan Indocement.
Dokument itu tersusun rapi. Baik berupa surat-surat pernyataan, surat keluar, surat masuk, termasuk surat-surat dari Indocement sendiri. Sebagian besar, membuktikan bahwa tanah yang dikuasai Indocement melalui surat sakti berbentuk sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN setempat, adalah syah milik keluarga besar Idi Supriadi atau Suhendar.
“Ini lihat! Kami sebenarnya telah meminta solusi hingga ketingkat Menteri. Tapi sayang, Menteri pun dianggap kecil oleh Indocement. Mereka tidak mengindahkannya,” ungkap Suhendar.
Dalam bundle document milik Suhendar, ada dua surat dari Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Menkopolkam-RI). Surat tersebut ditujukan untuk Direktur Utama PT. Indocement dan ditembuskan kepada berbagai pihak.
Pertama, Surat Nomor; B.636/MENKO/APD/POLKAM/10/1990 tertanggal 29 Oktober 1990. Dimana didalamnya, menjelaskan bahwa berdasarkan alibi PT. Indocement yang mengaku telah membayar tanah yang disengketakan kepada pihak lain yaitu H. Sahma bukan untuk ganti rugi tanah. Melainkan, ganti rugi penggarap atau tanam tumbuh.
Itu pun, ganti rugi penggarap dibayar dengan luas 2.100 M³ x Rp. 50,- = Rp. 105.000,- sementara tanah milik Idi Supriadi seluas 4 hektar.
Baca berita: Jerit Tangis Bag.2
Kemudian disusul Surat kedua Nomor: B.189/MENKO/APD/POLKAM/4/1991 tertanggal 5 April 1991. Disini sebenarnya kembali memperkuat status kepemilikan Idi Supriadi dan belum adanya ganti rugi atas tanas yang secara fisik telah dikuasai oleh PT. Indocement.
Dalam surat tersebut, dijelaskan bahwa dari bahan-bahan yang ada serta informasi lainnya, kepemilikan dari Idi Supriadi terhadap tanah ada di Desa Lulut Kecamatan Cileungsi (sekarang Kecamatan Klapanunggal) tersebut seluas sekitar 4 hektar nampaknya cukup. Yaitu adanya surat Kekitir/Girik dan adanya pengakuan dari Kepala Desa serta Saksi-saksi.
Pemberian ganti rugi yang dilaksanakan oleh PT. Indocement tahun 1974 kepada Sahma sebesar Rp.105.000,- terhadap tanah seluas 2.100 M³ justru membuktikan bahwa PT. Indocement belum memberikan ganti rugi terhadap seluruh tanah Idi Supriadi tersebutt (kalau dianggap Sdr. Sahma bukan penggarap tetapi mewakili pemilik)
Dalam surat kedua tersebut, Menkopolkam mengingatkan bahwa; Idi Supriadi adalah seorang pegawai negeri sebagai guru, yang ekonominya kita semua mengetahuinya, maka wajar kiranya kalau PT. Indocement menyelesaikan ganti rugi tersebut tanpa mengulur waktu dengan menunggu hasil keputusan hukum Pangadilan Tinggi.
Dalam hal ini, Menkopolkam menghimbau PT. Indocement dapat menyelesaikan masalah tersebut.
Persoalan terjadi, ternyata PT. Indocement tetap berpegang pada pendiriannya. Dimana menyurati Menkopolkam tertanggal 22 April 1991 No.049/LED/ITP/4/1991.
Dalam suratnya PT. Indocement menyampaikan, bahwa masalah tersebut sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Bogor dengan putusan perkara No.24/Pdt/G/PN.Bogor tanggal 29 Nopember 1990 yang pada prinsifnya menolak gugatan Penggugat (Idi Supriadi) karena tanah tersebut tumpang tindih dengan tanah yang diakui oleh beberapa warga lain dalam kesaksian di pengadilan.
Di Surat tersebut PT. Indocement mengemukakan, bilamana Idi Supriadi sudah mempunyai Asli Girik tana yang sebenarnya dan bukti-bukti otentik lain yang mendukung, dapat mengajukan hal tersebut ke-Pengadilan Tinggi.
Bukti Lengkap Tapi Tetap Ditolak
Berbagai proses yang telah dilalui, dimata Suhendar tak lebih hanya sekedar dagelan-dagelan sandiwara yang mempertontonkan arogansi PT. Indocement dan diamini oleh oknum-oknum tidak berpihak pada rakyat kecil.
Bagaimana tidak, lanjut Suhendar, perjuangannya untuk mendapat keadilan seolah dipingpong kesana-kemari. Menghabiskan waktu dan tanpa ada penyelesaian sama sekali. Tenaga, uang, pikiran, tersedot dalam masalah ini.
Memang benar, kami dikalahkan pada sidang di Pengadilan Negeri Cibinong – Bogor. Karena dianggap tidak memiliki cukup bukti. Persoalannya, bukti berupa surat Kekitir/Girik atau surat bukti pembayaran pajak, saat itu ada ditangan petugas dari pemerintah desa dan yang mengurus proses ganti rugi.
“Bukti-bukti itu baru dikembalikan pada kami setelah kami dinyatakan kalah di persidangan PN Cibinong,” ujar Suhendar.
Sedangkan pada sidang-sidang tingkat berikutnya, bukti-bukti yang kami ajukan tidak menjadi pertimbangan hukum. Hanya memperkuat putusan PN Cibinong.
“Bahkan saat kami meminta peninjauan kembali ke MA. Kami ditolak,” ungkap Suhendar lagi.
Suhendar dalam hal ini mengaku, bahwa semua seolah berpihak ke PT. Indocement. Bukan memberi rasa keadilan.
Setelah bukti-bukti lengkap, baik Girik, keterangan leter C, surat pernyataan saksi-saksi (baik dari kepala desa maupun saksi-saksi batas) ada pun, tidak ada gunanya. Terakhir PT. Indocement akan kembali berlindung dibalik sertifikat yang dikeluarkan BPN setempat.
“Dan tentunya juga berlindung dibalik keputusan hukum aneh itu,” ketus Suhendar.
Siapa penjahat sebenarnya dibalik sengketa tanah Indocement?
Siapa penjahat sebenarnya? Itu lah pertanyaan besar bagi Suhendar dan masyarakat desa Lulut pada umumnya.
Kenapa PT. Indocement berani secara arogan menguasai tanah milik warga secara fisik? Kenapa pemerintah tidak mampu bertindak tegas? Kenapa Hukum tidak mampu memberi rasa keadilan? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan pernah hilang ditengah masyarakat Desa Lulut yang mengaku tanahnya belum mendapat ganti rugi.
Tidak bisa dipungkiri, PT. Indocement merupakan perusahaan besar yang tentunya memberi konstribusi besar pula terhadap Negara. Namun, bukan berarti harus mengorbankan hak-hak warga lainnya, walau itu segelintir rakyat kecil.

Iskandar LSM GMBI: Siap mendampingi masyarakat digaris depan
Sebagaimana dikatakan Iskandar selaku Dewan Perwakilan Desa Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (DPD-GMBI) Desa Lulut, PT. Indocement sejauh ini cukup memberi konstribusi terhadap masyarakat di desanya. Baik berupa lapangan pekerjaan maupun perputaran ekonomi desa.
“Tapi tidak serta merta bisa bertindak sewenang-wenang terhadap hak-hak warga setempat,” ujar Iskandar.
Dalam hal ini, pihaknya mengaku siap untuk mendampingi masyarakat dalam memperjuangkan haknya. Termasuk dalam persoalan sengketa tanah antara warga dan PT. Indocement.
Katanya lagi, jika persoalan tersebut tidak diselesaikan hingga tuntas, maka potensi konflik tetap dapat terjadi kapan saja.
Berbicara tentang siapa penjahat sebenarnya dibalik sengketa tanah tersebut, Jeffry Lengkong selaku Ketua Umum LSM Pajajaran Muda mengatakan, dapat dilihat dimana PT. Indocement itu berlindung.
Dalam hal ini, ada dua surat sakti yang melindungi PT. Indocement. Yakni, putusan hukum yang memenangkan perusahaan dan sertifikat yang dikeluarkan BPN. Jika keduanya ditelusuri maka akan terbuka dimana letak persoalan sebenarnya.
“Sebagai warga Negara yang baik, kita sudah sepatutnya menghargai keputusan hukum. Namun dalam hal ini, para penegak hukum pun harus mengikut azas-azas hukum itu sendiri. Khususnya tentang rasa keadilan,” papar Jeffry.
Melihat perjalanan panjang kasus Suhendar dalam memperjuangkan hak nya, ada hal-hal yang harus dipertanyakan dalam keputusan perkara tersebut. Kenapa penegak hukum dalam mengambil keputusan selanjutnya tidak mempertimbangkan bukti-bukti baru yang diajukan oleh Suhendar. Justru hanya menguatkan keputusan sebelumnya.
Kedua, kenapa permohonan peninjauan ulang yang diajukan pihak Idi Supriadi atau Suhendar di tolak. Padahal mereka mempunyai bukti baru untuk di ajukan di persidangan.
“Saat ini zaman revolusi mental. Diktator dan sejenis arogansi penguasa tidak dapat berlaku lagi! Secara hukum semua mempunyai hak yang sama dalam memperoleh rasa keadilan,” ujar Jeffry.
Faktor masalah kedua, yakni sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN. Masalah ini sangat gambling sekali untuk dinilai. Proses pembuatan sertifikat sendiri terkesan aneh dan diduga keras tidak sesuai dengan mekanisme yang telah diatur oleh pemerintah sendiri.
“Contoh kecil, ditengah konflik pembebasan yang dimulai tahun 1974. Tahun 1975 sertifikat sudah jadi,” ungkap Jeffry.
Dimana anehnya? Menurut Jeffry, apa pihak BPN tidak turun kelapangan? Sehingga tidak menunggu konflik dan sengketa diselesaikan dahulu baru sertifikat dikeluarkan.
Kecerobohan pihak BPN mengeluarkan sertifikat super kilat tersebut, merupakan biang utama dari persoalan sebenarnya. Sehingga, PT. Indocement merasa tidak memandang perlu menyelesaikan konflik sengketa tanah tersebut. Untuk apa? Toh, secara hukum PT. Indocement sudah memiliki kekuatan hukum.
“Saya tidak mau menuding siapapun. Tapi silahkan public nilai sendiri, siapa yang sebenarnya memiliki dosa besar terhadap warga desa Lulut yang tanahnya saat ini dikuasai oleh PT. Indocement. Baik secara fisik, maupun secara hukum,” tandas Jeffry.
Hal senada juga diungkapkan oleh Iskandar. Menurut dia, siapa penjahat sebenarnya? Ya siapa yang membuat senjata pelindung PT. Indocement sehingga tidak merasa bertanggungjawab menyelesaikan konflik dengan masyarakat.
Sementara Suhendar mengaku merasa, menghadapi ‘monster’ yang dipersenjatai surat sakti dari putusan pengadilan dan sertifikat BPN.
Catatan wartawan:
Pemerintah Tidak Berani Bersikap Tegas Pada Indocement, Ada Apa?
Berada di negeri yang kaya Sumber Daya Alam (SDA), bukan berarti serta merta menjadi surga bagi penduduknya. Justru bisa sebaliknya. Bisa menjadi neraka dan persoalan tidak berkesudahan.
Ada banyak wilayah di Indonesia yang menyimpan timbunan SDA bernilai tinggi. Tapi justru terkesan menjadi neraka bagi penduduk sekitarnya. Khususnya, masyrakat kecil yang awam dan tidak mempunyai kuasa untuk berjuang.
Tidak usah jauh-jauh, di Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor – Jawa Barat, pun mengalami hal seperti itu.
Wilayah yang menjadi salah satu sentral bahan baku sement yang dikelola oleh PT. Indocement boleh dibilang menjadi neraka bagi beberapa penduduk didalamnya. Mereka harus terusir dari lahan tempat mereka berusaha sebagai petani. Dan celakanya, beberapa diantaranya diduga tidak mendapat ganti rugi. Diserobot secara paksa dan dikuasai baik secara fisik maupun hukum.
Belum lagi jika harus berbicara tentang imbas dari rusaknya ekosistem lingkungan akibat eksplorasi besar-besaran yang dilakukan PT. Indocement dalam menggali kekayaaan alam untuk dijadikan semen. Hancur, luluh-lantah digaruk mesin-mesin besar yang berkerja tanpa henti mengeruk apapun yang ada.
Memang, ada program sejenis Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai pemanis dan penghibur mata dunia atas kegiatan dalam mengeruk kekayaan alam itu. Namun perkara realisasinya bagaimana? Itu persoalan lain. Jika tidak ada konflik, maka CSR dianggap berhasil meredam penduduk sekitar.
Jangankan program CSR yang masuk dalam ranah abu-abu dalam implementasinya. Hal-hal urgen yang menjadi hak masyarakat pun, ada kesan terabaikan. Tidak dituntaskan, baik secara bijak, aturan, maupun rasa keadilan social yang semestinya.
Masyarakat kecil, hanya bisa menonton diantara debu beterbangan akibat lalu-lalang mobil-mobil besar, siang-malam 24 jam tanpa henti, mengangkut kekayaaan alam yang sejatinya dapat mensejahterakan mereka. Tapi kenyataannya, mereka tetap miskin, bodoh dan dibodohi.
Apakah kesalahan sepenuhnya ada di PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk? Tidak juga! Indocement adalah perusahaan besar yang bergerak mengikuti system, situasi, dan kondisi. Yang intinya, bergerak mencari untung sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Dimana-mana badan usaha memang begitu cara kerjanya.
Peran pemerintah dalam menjaga keseimbangan dan mengatur prilaku yang berkeadilan sangat vital. Dan sebenarnya sudah dibuat sedemikian rupa dengan baik dan nyaris sempurna. Persoalannya, kembali kepada oknum dilingkungan pemerintah itu sendiri. Mau atau tidak untuk mengaplikasinya secara benar.
Celah bermain untuk memanfaatkan keberadaan Indocemet juga terbuka luas. Baik untuk kepentingan besar Negara dan rakyat, maupun sebaliknya untuk kepentingan pribadi-perpribadi.
Bukan perkara besar bagi perusahaan sekaliber Indocement untuk memenuhi hak-hak masyarakat. Seperti soal ganti rugi tanah yang diperjuangkan hingga berpuluh tahun itu. Demikian juga jika pemerintah benar-benar serius untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Cukup dengan bersikap tegas!
Masalahnya kenapa tidak bisa tegas? Kemungkinan indikasi adanya semacam permainan untuk kepentingan pribadi-perpribadi itu ada.
Saat masyarakat mendesak keadilan dengan cara mereka (demo). Pemerintah terdesak dan hanya mampu menampung aspirasi masyarakat. Lalu membentuk team untuk memverifikasi status tanah. Baca Jerit Tangis Bag. 2. Ketika sudah terbukti bahwa ada hak masyarakat yang belum dibayar Indocement, pemerintah tidak berani bersikap tegas untuk memerintahkan pihak perusahaan untuk membayar. Malah menyediakan pengacara yang ujung-ujungnya dikalahkan di persidangan ‘aneh’.
Bagaimana mau menang! Indocement sudah syah menguasai hak masyarakat baik secara fisik maupun hukum berupa sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN yang juga secara ‘aneh’. Mau dibawa ke persidangan tingkat apa pun, jelas Indocement menang. Soal sidang itu memberi rasa keadilan atau bukan, itu juga soal lain.
Jika masyarakat tidak merasa mendapat keadilan, jelas itu hal wajar. Karena, masyarakat merasa tidak satu pun ada yang peduli dengan apa yang mereka rasakan. Baik dari pemerintah tingkat bawah di desa, hingga tingkat paling atas. Bahkan hingga telah berganti-ganti rezim presiden.
Jika pun ada perhatian, hanya sebatas menghibur sebatas menampung aspirasi tanpa ada tindakan kongkrit yang berujung penyelesaian masalah.
BPN pun hanya sebatas meminta Indocement untuk menyelesaikan persoalan melalui surat. Berupa himbauan dan mempasilitasi musyarawah yang hingga kini belum ketemu kata mufakat.
Pemerintah desa pun penuh kepura-puraan berpihak pada warganya. Toh, saat PT. Indocement habis masa berlaku Hak Guna Usaha (HGU) – nya. Tanpa malu-malu membubuhkan tandatangannya untuk memuluskan syarat untuk mendapatkan izinnya kembali mengeruk kekayaan alam di desanya. Lalu secara kompak dari atas kebawah memperpanjang HGU Indocement.
Padahal, jika ingin bertindak tegas, pada momentum tersebut dapat menjadi situasi terbaik untuk upaya penyelesaian konflik sengketa tanah tersebut. Pihak kecamatan pun tak jauh berbeda. Terkesan berupaya mengelak untuk upaya penyelesaian konflik.

Pebriyanti Kasi Pemerintahan Kecamatan Klapanunggal: Pihak Kecamatan tidak punya kapasitas untuk menyelesaikan konflik. Paling hanya sebatas memfasilitasi musyawarah dan menyarankan untuk ditempuh secara hukum
Tidak ada tempat untuk mengadu. Itu lah yang dirasa oleh warga desa Lulut. Ke atas buntu, kebawah tersumbat. Melakukan tindakan anarkis malah hanya merugikan diri sendiri.
“Saya akan menyurati pak Presiden Jokowi. Katanya beliau cukup berpihak pada rakyat. Saya akan membuat surat berstempel jempol darah! Untuk menggerakkan hati para penguasa agar mendengar jerit tangis kami,” demikian Suhendar mengakhiri pembicaraan sembari terbatuk-batuk karena penyakit sesak nafas yang dideritanya.
Penyakit paru-paru ini pun, katanya, mungkin karena debu yang setiap hari ia hirup dari aktifitas pabrik semen terbesar dunia itu selama berpuluh tahun.

You must be logged in to post a comment Login