Berita
Ratusan Produk Hukum Daerah Soal Pengakuan Masyarakat Adat Tak Berfungsi, AMAN Soroti Ketidakseriusan Negara

Kalimantan Timur, GarudaCitizen.com – Meski telah ada 350 produk hukum daerah mengenai pengakuan masyarakat adat, tak satu pun benar-benar melindungi. AMAN menyoroti lemahnya fungsi perda dan kriminalisasi yang terus meningkat.
Pengakuan Masyarakat Adat:
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kembali menyuarakan keprihatinannya terhadap nasib masyarakat adat di Indonesia. Dalam pernyataan yang disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, terungkap bahwa sebanyak 350 produk hukum daerah, baik berupa Peraturan Daerah (Perda) maupun Surat Keputusan Kepala Daerah yang seharusnya memberikan perlindungan dan pengakuan masyarakat adat, saat ini justru tidak berfungsi.
“Kami temukan, ratusan produk hukum daerah ini hanya sebatas dokumen administratif. Mereka tak memiliki kekuatan pelindung yang nyata di lapangan, bahkan ada yang disangkal oleh regulasi di tingkat nasional,” tegas Rukka di hadapan komunitas adat Kutai Lawas Sumping Layang, Desa Kedang Ipil, Kalimantan Timur, Senin (14/4/2025).
AMAN Siapkan Data Lengkap Wilayah dan Potensi Komunitas Adat
Untuk mempercepat proses pengakuan masyarakat adat, AMAN telah melakukan langkah strategis dengan menyiapkan dokumen yang komprehensif. Mulai dari data komunitas adat, peta wilayah adat, hingga seluruh potensi ekonomi, budaya, dan lingkungan yang dimiliki masyarakat adat.
“Ini bentuk kontribusi kami untuk membantu negara. Tapi sayangnya, meski data sudah lengkap dan perda sudah disahkan di banyak tempat, implementasinya nihil,” tambahnya.

11,7 Juta Hektare Wilayah Adat Hilang di Era Pemerintahan Jokowi
Ironisnya, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, justru terjadi kehilangan wilayah adat secara masif. “Sebanyak 11,7 juta hektare wilayah adat hilang, meskipun beberapa daerah telah memiliki produk hukum tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat,” ungkap Rukka.
Tidak hanya soal kehilangan wilayah, tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat pun terus meningkat. AMAN mencatat pada tahun 2024 terdapat 121 kasus kriminalisasi, dan hanya dalam tiga bulan pertama tahun 2025, jumlahnya sudah mendekati total tahun sebelumnya—mencapai 113 kasus.
Baca Juga: Ribuan Masyarakat Adat di Pulau Enggano Terancam Terisolir Akibat Mandeknya Transportasi Kapal
Tanpa UU Masyarakat Adat, Produk Hukum Daerah Hanya Simbolik
Ketiadaan undang-undang nasional mengenai pengakuan masyarakat adat menjadi titik lemah dari seluruh upaya perlindungan hukum yang ada saat ini. Menurut AMAN, selama UU Masyarakat Adat belum disahkan, maka seluruh produk hukum daerah hanya akan bersifat simbolik dan tidak bisa memberikan perlindungan nyata.
“Tanpa payung hukum di tingkat nasional, perda-perda yang telah disahkan tidak memiliki legitimasi yang cukup kuat. Mereka mudah dipatahkan oleh kepentingan lain, terutama oleh korporasi dan proyek strategis nasional,” tegas Rukka.
Harapan pada Pemerintah dan DPR untuk Segera Mengesahkan UU Masyarakat Adat
Menyikapi kondisi yang semakin memburuk, AMAN mendesak pemerintah dan DPR RI agar segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Rukka menegaskan, nasib jutaan warga masyarakat adat tidak boleh terus digantung oleh tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi.
“RUU Masyarakat Adat ini sudah 14 tahun diperjuangkan, namun tidak pernah mendapat prioritas. Sementara di lapangan, masyarakat adat makin terpinggirkan, baik secara hukum, politik, maupun ekonomi,” ujar Rukka.
Baca Juga: 8 Strategi Copywriting Terbaik dan Andalan Para Pakar
Kasus di Bengkulu, Tanah Adat Diakui tapi Warganya Diusir
Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Bengkulu, Fahmi Arisandi, turut memperkuat pernyataan Rukka dengan mencontohkan situasi yang terjadi di provinsinya. Ia menyebutkan bahwa meski tiga kabupaten di Bengkulu—Lebong, Rejang Lebong, dan Seluma—telah memiliki perda tentang pengakuan masyarakat adat, namun praktik diskriminasi dan pengusiran tetap terjadi.
“Di Seluma misalnya, wilayah adat sudah dipetakan dan diakui dalam perda. Tapi ironisnya, komunitas adat di sana justru dituduh mencuri di atas tanah mereka sendiri. Ini bentuk ketidakadilan yang sangat nyata,” tegas Fahmi. (red/rls)

You must be logged in to post a comment Login